Mudik, Rindu, dan Lebaran: Tiga Fenomena yang Tak Terpisahkan
Mudik, rindu, dan lebaran merupakan tiga fenomena yang sangat erat kaitannya di Indonesia. Mudik, yang merupakan tradisi pulang ke kampung halaman, merupakan momen yang sangat dinantikan oleh banyak orang. Seperti yang dikatakan oleh Buya Hamka, “Rindu itu adalah bahasa hati yang paling dalam.” Rindu yang membara di dalam hati membuat orang-orang rela melakukan perjalanan panjang dan melelahkan untuk berkumpul dengan orang-orang yang mereka cintai.Namun, perlu diakui bahwa subtansi mudik telah mengalami pergeseran yang signifikan.
Pergeseran Subtansi Mudik: Dari Rindu ke Gengsi
Dulu, mudik betul-betul untuk merawat kenangan, agar ada perulangan rindu di tahun berikutnya. Saat ini, mudik telah berubah menjadi ajang menunjukkan simbol status sosial dan ekonomi. Mudik harus dilakukan dengan kondisi serba mewah dan baru, sehingga jika tidak ada yang di bawah mudik, pemudik mengurungkan niat. Gengsi telah mendahului rindu, sehingga mudik tidak lagi menjadi ajang untuk memperkuat ikatan keluarga dan memperbarui kenangan lama, melainkan menjadi ajang untuk menunjukkan kemampuan ekonomi dan status sosial.
Konsep Habitus, Arena, dan Modal dalam Konteks Mudik
Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa mudik merupakan manifestasi dari konsep habitus, arena, dan modal yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Ketika habitus seseorang berubah, maka dia memerlukan arena baru dengan modal yang semakin kompleks. Saat seseorang baru meninggalkan kampung halaman, habitusnya masih agak sederhana sehingga arenanya masih terasa kampung. Saat di kota, dan telah memegang modal simbolik (kelas pekerja, misalnya) habitusnya berubah, dia akan menganggap bahwa arena yang dilakoninya adalah kota.
Relevansi Mudik, Rindu, dan Lebaran dalam Konteks Modernitas
Namun, perlu diingat bahwa mudik, rindu, dan lebaran masih sangat relevan dalam konteks modernitas. Mudik, rindu, dan lebaran dapat memperkuat ikatan keluarga, memperbarui kenangan lama, dan memperkuat ikatan dengan Tuhan dan sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu, “Tradisi adalah sesuatu yang hidup dan berkembang, bukan sesuatu yang mati dan kaku.”
Menghargai Tradisi Mudik, Rindu, dan Lebaran dalam Konteks Modernitas
Oleh karena itu, penulis berharap bahwa kita dapat memahami dan menghargai tradisi mudik, rindu, dan lebaran dalam konteks modernitas. Kita harus dapat membedakan antara tradisi yang masih relevan dan yang sudah tidak relevan lagi. Kita harus dapat mempertahankan tradisi yang masih relevan dan mengembangkannya dalam konteks modernitas.
Memperkuat Identitas Bangsa Indonesia melalui Tradisi Mudik, Rindu, dan Lebaran
Dengan demikian, penulis berharap bahwa kita dapat memahami dan menghargai tradisi mudik, rindu, dan lebaran sebagai bagian dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kita dapat mempertahankan tradisi yang masih relevan dan mengembangkannya dalam konteks modernitas, sehingga kita dapat memperkuat ikatan keluarga, memperbarui kenangan lama, dan memperkuat ikatan dengan Tuhan dan sesama manusia.
Harapan Penulis
Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk memahami dan menghargai tradisi mudik, rindu, dan lebaran dalam konteks modernitas. Mari kita jaga dan kembangkan tradisi ini agar tetap relevan dan menjadi bagian dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Selamat mudik untuk seluruh masyarakat Idonesia , tetap berhati-hati dalam perjalanan Sejauh apapun kita pergi, kampung halaman adalah tempat yang tetap kita rindukan.
Jangan lupa singgah di Posko Mudik GP Ansor yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penulis : Miswadi Nirwan,S.Kom
